CONTOH CERPEN BAHASA MADURA TENTANG SEKOLAH BESERTA ARTINYA
Kali ini kita akan membagikan sebuah Cerpen Bahasa Madura tentang sekolah yang berjudul :
Abduh dan Rahasia Saka Gambarannya
Di seko'lah jenius neng Kota Sampang, neng kelas 7A, are' pole benama Abduh. Abduh tade’ kadhi' are' e laon. Umur eddha’ pole 13 tahun, sananganna tem-molora barung-barung, sabbih se' tekajik, lebih loba mole’ oreng-oreng. Abduh jare’je are' se' lemmah, tak njelengger neng bidang akademik, beda’ songko’ kawan-kawanah se’ pak-ruwet pole bisa nyellessa’ soal-soal susah ben gampang.
Sebell, kanca-kancah banyak nyemeoh Abduh. Tase’ ettembang, mon mapah guru ngera’ PR, ta’ tajemmennah kawanah rekemeng ocap-ngocap, "Abduh, koe' tade' bejalle-bajalle. Koe' mong cocok mon nongghu sik." Tade' sengka' ngera' Abduh be’enana, karna’ sapareng tade' e-tangghu' tapot tapang.
Abduh tate’ balas ocappah tade’ pole. Ning omor e, iya pole sakolah ngebentah do’anah se' diam-diam neng kabbi kancekna. Tadi’ gendher, cuma soneng jarek jeng pensil, boya ben buku gabbah. Abduh tem-nyontek soal, tade’ neng cere' jare'je laon, karna’ beda’ songko’ are’ se' bannyak adon, iah sanang padhal gambar.
Neng kantin, are’ laon ngabbun pada ngocappah jarek ngatik-ngatik handphone, tapi Abduh sate’ toros ngemel ngebekah pensil ben kertas. “Na’ are’ menggambar, kerreh kah?” ocap salah seh kawan. “Ngapah ngorek de’ ono gunaneh, Abduh?”
Abduh tem-massa’ masenna. Ben hatina, e teppa’. “Apa sape, jare’ tak beggal neng sukat oreng. Apa be’ bisa oreng jare’je tak lakone?” ocap Abduh pole hatina sabbill tenang.
Pas mulih neng mesak, Abduh ngadele kertas gambar sampe’ begat nate’ komik. E’dem gambar-gambare, neng taju dengan pedang sampe’ neng laon neng tanah anyar neng kahala. Ka’ bejelle gambar Abduh e ngocappah. “Ngabentah komik sak berwarna, se’ kerreng. Se’ bedeh gaelem neng kabbhi laon.”
Guruna, Bu Siti, kon lengghen neng akome Abduh, abban tadem buwa’ pappase neng seko'lah. Ta’ jeksaksiyah gambar-gambarna Abduh se’ malangka. “Abduh, ngoncotah ko e jare’je lomba menggambar jare’ nasional?” ocap Bu Siti sapareng santennah. "Jare’ karyeh bisa mabbut ka Jakarta."
Abduh bingung ngeren lengghen bujurna, “Saya? Buteng e’. Saya tak bisa apa-apa. Tade' apah karyeh sabbill laon. Koe' bejalle tak ngipam-ngipam beranah, Bu."
Bu Siti ngelenggu, ngereng kara’ sapparennah tak katok. “Lombah tade’ sape-sapeah, Abduh. Ngoncotah bu’ neng, ngoncotah ngerasaen sananga. Gambar anna neng pensek, ngocae neng pole lomba. Bujurna?”
Tak pantesa lama, Bu Siti ngacoh komik Abduh tepak neng pappase neng Jakarta. Engkok berkattah nyappah. Sampe’ nate’ pengumuman, Abduh tekanca', neng balas neng komputerne, "Pengumuman Juara Lomba Menggambar Nasional". Engkok tak edelleng oreng sanang nyempot karna' ben merasaen sananga. Ta' percaya. Abduh menang lombah neng tingkat nasional!
Gambar animene Abduh dipamerah neng Jakarta ben pole e buka’ majalah seni. Abduh pole tase’ nebbeng arum neng dunyah, songko’ koran, radio, sampe’ youtube. Kabbi oreng neng sakola ben guru-guruna pada bangga. Jarek kanca-kanca tase’ nyemeoh, ekacong menta’ andik fotoh sabbill Abduh.
"Nah, kare’ baggaekah, Abduh?" ocap salah se kawan. “Ngona' hebat e atakkah! Kabbi tak nyangka jare’je e kanca’ ka' na’ kabbhi kamampuan jare’ tak ecottah.”
“Eya, bettol,” ocapah se laon pole, "Nomer neng otak, tapetep neng ati. Ah, Abduh jare’je beda’ neng kabbhi laon, neng sorang, neng bidang seni!"
Abduh mesem, merasaen senneng, ning ettembang penter. “Abeh mon neng jeruh hatikna, jangga’ lembu asellah ben gaelem bertengkat karna’ apah be’ sanang. Abeh kita beda’ neng gaeleman pole. Tade’ masalah jarek kabbi neng beda, sak penting sennang ngereng are’ e de’ dunnya.”
Peta’ne, tade' neng benyelama' pole apah kata oreng, Abduh tetep e' lengghen sennang ben tem-angkat penter, teros makone apa se’ iya sanang. Andik tekaddah pole are’ jenius, tetap neng si’ bikin sejarah neng jare’je dunya, laon neng carakna sendiri.
Pesan Moral
Jangga’ takut beda’ jarek oreng laen. Kadang, neng dalem se' akomben sapparreng tak adeh guna’, tersimpan keunikan se' luar biasa. Seperti Abduh, are' se' tase' jelo areh apa-apa, ternyata andik bakat rahasia se' laon. Tetaplah percaya ben makone apa se' ka’ sanang. Setiap are’ andik carana sendiri jarek andik a'renh istimewa.
Artinya dalam Bahasa Indonesia: "Abduh dan Rahasia di Balik Gambarnya"
Di sekolah jenius di Kota Sampang, di kelas 7A, ada seorang anak bernama Abduh. Abduh tidak seperti anak lainnya. Umurnya baru 13 tahun, namun ia tak banyak bicara, lebih suka menyendiri dan tenggelam dalam dunianya sendiri. Abduh tampak seperti anak yang pendiam, tidak menonjol dalam bidang akademik, berbeda dengan teman-temannya yang terkenal karena bisa menyelesaikan soal-soal sulit dengan mudah.
Setiap hari, teman-temannya sering mengejek Abduh. Begitu mereka mendengar guru menanyakan PR, teman-temannya sudah saling berbisik sambil berkata, "Abduh, kamu tidak pernah maju-maju. Kamu lebih cocok tinggal di desa." Tak ada yang menganggap Abduh serius, karena seakan tak ada bakat yang bisa dilihat dari dirinya.
Abduh tak pernah membalas perkataan mereka. Di balik itu, ia tetap bersekolah dengan doa dan harapan yang ia simpan diam-diam di dalam hatinya. Tidak seperti mereka, dia lebih suka duduk di meja dengan pensil, kuas, dan buku tebal. Abduh bukan tipe anak yang suka mencontek atau memerhatikan pelajaran seperti teman-temannya. Ia lebih suka menggambar.
Di kantin, ketika yang lain sibuk mengobrol atau bermain handphone, Abduh tetap sibuk mencoret-coret dengan pensil dan kertas. “Apa itu? Menggambar? Ada gunanya?” tanya seorang teman. “Kenapa sibuk dengan hal yang tidak ada manfaatnya, Abduh?”
Abduh tidak mengindahkan mereka. Dalam hatinya, ia hanya berpikir, "Setiap orang punya cara sendiri untuk menunjukkan siapa mereka. Tidak ada yang bisa memutuskan jalan hidup orang lain."
Saat pulang ke rumah, Abduh mengisi lembar demi lembar buku gambarnya sampai ia membuat komik. Karakter-karakternya hidup, dengan pedang, pemandangan negeri baru yang indah. Di setiap goresannya, dia berpikir, "Aku ingin menciptakan komik yang penuh warna, yang bisa menyentuh hati semua orang."
Gurunya, Bu Siti, suatu hari melihat karya Abduh yang luar biasa. "Abduh, kamu mau ikut lomba menggambar tingkat nasional?" tanya Bu Siti dengan senyum lembut. "Karyamu bisa dikirim ke Jakarta."
Abduh bingung mendengar tawaran Bu Siti, “Saya? Tidak mungkin, Bu. Saya tidak bisa apa-apa. Tidak ada yang istimewa dari karya saya. Saya merasa tidak ada yang bisa saya banggakan, Bu."
Bu Siti tersenyum, melihat ketegangan di wajah Abduh. “Lomba ini tidak ada ruginya, Abduh. Coba saja, jangan takut untuk merasakan bahagia. Gambar yang ada di hatimu, kirimkan saja ke lomba. Bagaimana?”
Tak lama kemudian, Bu Siti mengirim komik Abduh ke panitia lomba di Jakarta. Hari-hari berlalu dengan penuh harapan. Sampai akhirnya, ketika pengumuman keluar, Abduh melihatnya di layar komputer, "Pengumuman Juara Lomba Menggambar Nasional". Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Abduh menang lomba di tingkat nasional!
Gambar anime karya Abduh dipamerkan di Jakarta dan dimuat di berbagai majalah seni. Nama Abduh pun mulai dikenal di seluruh dunia, mulai dari koran, radio, hingga YouTube. Semua orang di sekolah, termasuk guru-gurunya, merasa bangga. Teman-teman yang dulu mengejeknya kini berbalik memuji dan bahkan meminta foto bersama Abduh.
"Nah, bagaimana rasanya sekarang, Abduh?" tanya salah satu teman. "Kamu benar-benar hebat! Kami semua tidak menyangka bahwa kamu memiliki kemampuan yang selama ini tersembunyi."
"Iya, betul," sahut yang lain, "Nomor satu bukan hanya di otak, tapi juga di hati. Ah, Abduh memang berbeda dari kami semua, dengan caranya sendiri, di bidang seni!"
Abduh tersenyum, merasa bahagia, namun tetap rendah hati. “Yang penting adalah di dalam hati, kita harus berani dan tetap teguh dalam melakukan apa yang kita cintai. Kita semua berbeda dalam kesukaan dan kemampuan. Tidak masalah jika kita berbeda, asalkan kita bahagia dengan apa yang kita lakukan di dunia ini.”
Akhirnya, tanpa peduli dengan apa kata orang, Abduh tetap berbahagia dan terus rendah hati, menjalani apa yang ia cintai. Dengan tekadnya sebagai anak jenius, ia membuat sejarah di dunia dengan caranya sendiri.
Pesan Moral
Jangan takut untuk berbeda dari orang lain. Terkadang, di balik sesuatu yang dianggap sepele, tersimpan keunikan yang luar biasa. Seperti Abduh, seorang anak yang terlihat biasa saja, ternyata memiliki bakat tersembunyi. Tetaplah percaya diri dan lakukan apa yang kamu cintai. Setiap orang memiliki cara sendiri untuk menjadi istimewa.
Demikian contoh cerpen Bahasa Madura tentang sekolah beserta artinya. Semoga bermanfaat ya.
Posting Komentar